Senin, 27 Oktober 2008

karya sastra

Bersama Jibril
Cerpen Divana

Gemerincing lonceng itu seperti tumpah dari langit. Malam pekat. Hitam. Kota-kota bagai tenggelam dalam sapuan temaram. Dari saking hitamnya, lautan dan sungai-sungai berubah menjadi lukisan tanpa bayang. Sebuah petaka kecil dalam nuansa keindahan.
Gemerincing lonceng itu demikian nyaring. Bertalu-talu. Sangat nyaring. Melengking dari dahan ke dahan pohon, meliuk diantara supermarket, pasar, restoran dan warung-warung, hotel bertinggkat, kemudian menyusup dingin di bawah celah istana para penguasa lalu rebah begitu saja di kolong-kolong jembatan. Bunyi yang bukan sembarang bunyi, sepertinya. Malam tak peduli. Kian kelam.
Kuarahkan pandangan nun jauh di sana, pada terjalan gunung dan tebing-tebing yang memanjang tanpa batas. Sapuan hitam malam terasa memerihkan mata. Tiada panorama keindahan, tiada nilai seni seperti yang didendangkan para seniman. Semua terhampar hambar penuh gelap. Ya, gelap dengan iringan gemerincing lonceng yang entah dari mana sumbernya. Pokoknya melenggking, menggema dengan kekuatan maha hebat. Derai bunyi yang sulit dibahasakan dengan kata.
Makin lama gemerincing lonceng itu semakin menyayat. Bergemuruh dalam dada. Menjulur-julur seperti tangan raksasa yang hendak melumat apa saja. Oh, ini waktu demikian misteri. Bukankah zaman para Nabi sudah paripurna di telapak kaki Muhammad sang sayyidil mursalin? Mungkinkah Tuhan hendak mengubah skenario ayat-ayatNya di era milenia ini? Tampaknya imposible jika harus ada Nabi setelah Muhammad. Membangun isu akan terlahir Nabi baru sama dengan mengobral nasib untuk dihajar persepsi kurang manusiawi. Bayangkan bagaimana kejadian yang menimpa saudara kita dalam pencahariannya mencari Tuhan dengan mendaulat diri menjadi nabi bagi dirinya sendiri. Respon masyarakat dan komunitas yang fanatik terhadap satu dogma langsung mengklaim sesat. Aneh memang, klaim sesat datang begitu saja. Seakan manusia mau melangkahi Tuhan sebagai sang maha Segala. Menghakimi dengan keegoan dan keangkuhan. Padahal Tuhan itu belum pernah memvonis manusia Anu adalah lebih baik dari si Pulan. Dan sepertinya Tuhan tidak terlalu bodoh untuk menilai ikhtiyar hamba-hambaNya. Jangan-jangan yang dikalim sesat dalam pandangan manusia adalah yang paling baik di mata Tuhan. Demikian sebaliknya. Terkadang hidup memang penuh dengan bayang-bayang.
Misteri itu akan muncul kapan dan di mana saja berada. Karena itulah Tuhan kemudian mendapat posisi yang sangat sakral dan tidak bisa dijangkau oleh kekuatan apapun. Dan bukankah manusia belum mampu menjangkau kesakralan Tuhan dalam makna yang sangat sederhana?
Gemerincing lonceng itu terus saja menderu. Semkin lama kian terasa menghentak-hentak. Tampak rerumputan kering membenamkan diri ke bumi. Tangannya yang keriput memegang gemetar tangkai yang layu. Gemerincing lonceng itu terasa menusuk-nusuk. Makin lama gemanya semakin menjadi.
“Apakah hanya sebuah mimpi?” Kupandangi langit. Masih tampak seperti malam-malam sebelumnya. Penuh dengan bintang. Silau di tengah malam yang gulita. “Tidak, ini hanya sebuah mimpi!” masih kupandangi langit lepas. Menguatkan bahwa apa yang aku hadapi adalah sebuah realitas yang sesungguhnya.
Langit masih dipenuhi gemerincing bunyi itu. Gemuruhnya menelan dahaga rindu. Memporakporanda khusyuk semesta. Seperti jeritan Asra’il saat nyawa anak manusia dia hempas begitu saja.
“Tidak, semua hanya mimpi!” Aku hendak bediri. Tapi kakiku terasa lunglai. Tanpa tenaga. Seabad sudah aku menantiNya. Mencari sisa-sisa cahaya dalam makrifatku yang selalu ternoda. Aku teringat Rabi’ah yang tak pernah menduakan cintaNya. Penderitaan sang kekasih yang selalu ditekan dalam nyanyian rindu ingin bertemu denganNya. Kerlingan mataNya telah menyatu dengan dirinya. Pedih dan luka sukma bukan lagi suatu kekhawatiran. WajahNya lebih anggun dari semuanya. Aku, aku pun mulai mencariNya sebagai kekasih yang sesungguhnya.
Gemerincing lonceng itu terus menderu. Seperti menertawakan komat-kamit dzikir yang aku muntahkan. Menggaung-gaung di sudut angkasa dan meluluh lantakkan tebing-tebing dada. Aku bersujud merendahkan segala yang aku punya.
Malam pekat. Kota dan hutan-hutan seperti belum juga tampak. Pekat semakin kuat mencengkramkan kuku-kukunya. Sangat terasa betapa aku sangat kecil dalam kuasaNya.
“Salamun alaika?” Di tengah gemuruh gemerincing bunyi lonceng itu, sebuah suara menyaru dalam ketulusanku. Entah mengapa, lelehan air mata mulai tampak mengenangi pipi dan mata terdalamku. Taqarrubku semakin menggebu. Aku percaya Tuhan sebagaimana aku percaya bahwa di atas cahaya masih ada cahaya
“Wa alaika, salamullah wa rahmah.”Mataku terpejam. Insting makrifatku menangkap Dia hadir takjub. Tiba-tiba saja mahluk serba putih dengan sayapnya yang mengembang -sangat panjang- mematung dihadapan. Malaikatkah?
“Siapakah engkau?”
“Jibril”
“Jibril!?” Bagai disambar gledek, tubuhku langsung gemetar. Keringat meluncur deras dari pori-pori tubuh. Antara mimpi dan kenyataan aku menangkap serpihan ayatNya membius merdu dalam dada; rabbanâ ma khalqta hadzâ bâtilâ. Jibril, benarkah engkau sudi menghampiri aku yang hina ini?
“Bacalah!”
Pikiranku masih semraut. Aku belum yakin bahwa mahluk di hadapan adalah sang ruhul amin. Aku bergeming mendapati Jibril memerintahkan untuk membaca. Apa yang hendak dibaca?
“bacalah!”
“Jibril, apa yang akan aku baca!” Ulangku terbata.
“Bacalah!”
“Jibril, apa yang akan aku baca!” Jibril mengepakkan sayapnya. Merengkuh aku dalam bias putih tubuhnya. Aku dibawanya terbang melintas jagad. Melampauhi dunia dalam duniaNya. Menunjukkan titik-titik kehidupan dan penciptaan. Sampai akhirnya Jibril membisikkan satu ayat yang masih belum pernah aku dengar dalam kamus berkehidupan; tegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Di simpang jalan, dalam dunia yang tidak aku kenal, Jibril melepasku dengan sekuntum senyum. Silau wajahnya masih membekas dalam hati. Aku mencoba untuk membaca kembali pesan langit yang Jibril sampaikan. Ya, aku terus membaca, sampai akhirnya aku lupa apa yang sedang aku baca.
Sumenep, Oktober 2008
* Gerimisku; Jangan lupa berdoa, sayang!

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Hidup adalah perjuangan ...