Judul:
Pre Wedding in Chaos
Penulis:Elsa
Puspita
Penerbit:Bentang,
Yogyakarta
Cetaka:
Pertama, Oktober 2014
ISBN:
978-602-291-056-5
Peresensi:
Zaitur Rahem *
Pernikahan merupakan media sakral. Sebab,
kepentingan menikah sangat dimensional. Untuk mengikat hubungan hati, membangun
iklim keluarga, bersosial, dan mempersiapkan generasi terbaik. Buku ini
berkisah tentang pernak-pernik pernikahan. Dari pra nikah, prosesi nikah, dan
pasca menikah. Sedikit membuat kepala pening, memang saat mengurai banyak hal
yang harus dipersiapkan dalam pernikahan. Akan tetapi, kisah manis-pahit
pernikahan begitu indah. Setidaknya ungkapan ini karena terpaut gambaran
kisah-kisah di dalam cerita karya ini.
Pre
Wedding in Cahos
ini bermula dari cerita Aria, remaja gaul yang memiliki cinta tapi takut
menikah. Kekhawatiran melanjutkan hubungan cinta ke arah lebih serius menjadi
cambuk bagi Aria. Padahal, banyak pihak keluarga yang menyarankan agar dia
segera menikah. Saran tersebut karena mempertimbangkan banyak faktor.
Diantaranya, faktor usia, hubungan cinta dengan sang pacar, dan lebih-lebih
faktor budaya. Yaitu, Aria adalah saudara tertua dari sejumlah
saudara-saduranya yang kebetulan juga seorang perempuan. Dalam lingkungan cewek
gaul ini, seorang adik tidak bisa melangsungkan prosesi pernikahan selama
saudara yang lebih tua belum menikah. Sehingga, setiap saat Aria diminta untuk
segera melaksanakan pernikahan dengan pria yang dia sukai.
“Ayo, segera menikah!” kata-kata terus
mengisi hari-hari Aria. Tidur menjadi tidak nyaman, beraktifitas terhantui rasa
bersalah, beban berat dan perasaan kusut yang tidak tahu apa sebab dan
jawabannya. Menikah, menikah, menikah. Kata-kata itu menikam Aria, melukai dan
darahnya muncrat ke lembaran-lembaran hidup yang dia jalani-jalani. Menikah
baginya pasti. Akan tetapi, banyak hal yang masih menggerogoti otaknya.
Bagaimana menjalani pernikahan dengan seorang lelaki yang berbeda karakter.
Meski dia pacar yang lama menanti. Menikah bukan sekadar urusan seks. Akan
tetapi, jauh dari kepentingan biologis tersebut, menikah adalah berusaha
menyatukan dua pandangan yang berbeda-beda.
Karya ini memang lepas. Pembaca diajak
berdialog dengan problematika hidup yang serba rumit. Masa remaja adalah masa
emas. Tidak semua orang mau melepasnya begitu sja. Elsa Puspita, substansinya
mengajak kalangan remaja untuk berpikir jernih sebelum menentukan pilihan
melepas masa lajang. Namun, sayang seribu sayang, meski sudah hati-hati
menentukan pilihan terkadang campur tangan keluarga merusak segalanya. Aria
tepaksa mengajak Raga kekasihnya untuk menikah saja. Ahai ahai, kisah dalam
novel ini sepintas ada aroma jenaka. Namun, sisi edukatif dan gengsi sosialnya
tinggi.
Ketika hasrat tidak terkendali, menikah
menjadi salah satu pilihan paling baik. Meski menyesakkan dada, Aria dan
kekasihnya harus memilih menikah. Siap tidak siap, menikah akan dirasakan semua
manusia yang normal. Mereka akan menjalani meski dalam waktu yang sulit
diterima akal. Semisal, menikah di usia tua. Menikah bukan momentum menakutkan.
Menikah adalah ajaran manusia hamba pilihan Tuhan. Mereka menikah untuk
memperkuat basis kehambaan. Menikah yang diawali dengan niat baik akan berujung
kepada ketenangan batin. Demikian sebaliknya, menikah karena hanya mengikuti
hawa nafsu akan membawa petaka. Hidup menjadi sangat indah ketika sudah menjalani
pernikahan dalam bahtera keluarga. Selamat membaca!
*Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA),
Guluk-guluk. Email: zaitur_rahem@yahoo.co.id